Verifikasi dan Barcode Media yang dilakukan Dewan Pers dinilai hanya melindungi pemodal besar.
Barcode juga dinilai tak ubahnya bentuk lain dari intimidasi dan pengekangan terhadap kebebasan setelah pemerintah menerapkan Undang-Undang No. 19 tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penerapan barcode juga dianggap sebagai cara lain melindungi eksistensi pemodal besar yang punya hajat di ladang bisnis media.
"Verifikasi bangun tembok baru setelah UU ITE. Dewan Pers hanya melindungi pemodal besar," kata Damar dari Souteast Asia Freedom Of Expression dalam sebuah diskusi di LBH-Pers, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017).
Pegiat Serikat Pekerja Industri Media dan Kreatif untuk Demokrasi, Ichsan Rahardjo mengatakan, keberatan mereka salah satunya berkaitan dengan regulasi Dewan Pers yang mengatur besarnya jumlah modal usaha yakni minimal Rp50 juta dan harus berbadan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT).
"Akan terjadi korporasi pers, hanya untungkan pemodal besar saja. Monopoli informasi nanti di situ. Seharusnya juga bukan hanya PT yang diterima tapi juga dari yayasan atau perkumpulan," kata Ichsan.
Pendataan dan verifikasi terhadap media ini merupakan pelaksanaan pasal 15 butir 2F, Undang Undang no. 40/1999 tentang kewajiban mendata perusahaan pers oleh Dewan Pers. Pendataan ini juga merupakan komitmen komunitas pers di Indonesia yang tertuang dalam Piagam Palembang 9 Februari 2010.
Verifikasi itu antara lain meliputi legalitas media, isi pemberitaan, keberadaan penanggungjawab redaksi yang jelas, bukti kemampuan finansial untuk menggaji jurnalis secara layak, adanya kode etik dan pedoman perilaku.
Aturan verifikasi media juga dinilai tergesa-gesa lantaran Dewan Pers tidak melibatkan stakeholder dan Serikat Pekerja Media dalam perumusannya. Alih-alih menaikan mutu media dengan sistem lisensi barcode, Dewan Pers dianggap kurang peka terhadap masalah substansial yang dimiliki pekerja media.
"Dari 17 pasal pada standar perusahaan pers, ada enam pasal yang pro dengan kepentingan pekerja media seperti perlindungan hukum, gaji, dan bonus. Ini pasal yang sangat baik dan kami ingin verifikasi jangan hanya formalitas tapi juga memang berdampak baik pada kesejahteraan karyawan," kata Ichsan.
Buntut dari verifikasi menurut Ichsan hanya akan mendatangkan masalah baru yang belum tuntas diperhatikan Dewan Pers. Selain kesejahteraan pekerja media yang belum terakomodasi, Ichsan menyebut akan terjadi pembatasan kerja jurnalistik yang dialami media yang belum terverifikasi.
"Nanti masyarakat tidak percaya dan enggan menjawab wawancara. Lalu media kecil disebut abal-abal," kata dia.
Gagasan verifikasi media oleh Dewan Pers berangkat dari fenomena maraknya media, terutama media online, yang belakangan disinggung kerap menyebarkan berita palsu atau hoax ke masyarakat. (CNNI).*
Penerapan barcode juga dianggap sebagai cara lain melindungi eksistensi pemodal besar yang punya hajat di ladang bisnis media.
"Verifikasi bangun tembok baru setelah UU ITE. Dewan Pers hanya melindungi pemodal besar," kata Damar dari Souteast Asia Freedom Of Expression dalam sebuah diskusi di LBH-Pers, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017).
Pegiat Serikat Pekerja Industri Media dan Kreatif untuk Demokrasi, Ichsan Rahardjo mengatakan, keberatan mereka salah satunya berkaitan dengan regulasi Dewan Pers yang mengatur besarnya jumlah modal usaha yakni minimal Rp50 juta dan harus berbadan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT).
"Akan terjadi korporasi pers, hanya untungkan pemodal besar saja. Monopoli informasi nanti di situ. Seharusnya juga bukan hanya PT yang diterima tapi juga dari yayasan atau perkumpulan," kata Ichsan.
Pendataan dan verifikasi terhadap media ini merupakan pelaksanaan pasal 15 butir 2F, Undang Undang no. 40/1999 tentang kewajiban mendata perusahaan pers oleh Dewan Pers. Pendataan ini juga merupakan komitmen komunitas pers di Indonesia yang tertuang dalam Piagam Palembang 9 Februari 2010.
Verifikasi itu antara lain meliputi legalitas media, isi pemberitaan, keberadaan penanggungjawab redaksi yang jelas, bukti kemampuan finansial untuk menggaji jurnalis secara layak, adanya kode etik dan pedoman perilaku.
Aturan verifikasi media juga dinilai tergesa-gesa lantaran Dewan Pers tidak melibatkan stakeholder dan Serikat Pekerja Media dalam perumusannya. Alih-alih menaikan mutu media dengan sistem lisensi barcode, Dewan Pers dianggap kurang peka terhadap masalah substansial yang dimiliki pekerja media.
"Dari 17 pasal pada standar perusahaan pers, ada enam pasal yang pro dengan kepentingan pekerja media seperti perlindungan hukum, gaji, dan bonus. Ini pasal yang sangat baik dan kami ingin verifikasi jangan hanya formalitas tapi juga memang berdampak baik pada kesejahteraan karyawan," kata Ichsan.
Buntut dari verifikasi menurut Ichsan hanya akan mendatangkan masalah baru yang belum tuntas diperhatikan Dewan Pers. Selain kesejahteraan pekerja media yang belum terakomodasi, Ichsan menyebut akan terjadi pembatasan kerja jurnalistik yang dialami media yang belum terverifikasi.
"Nanti masyarakat tidak percaya dan enggan menjawab wawancara. Lalu media kecil disebut abal-abal," kata dia.
Gagasan verifikasi media oleh Dewan Pers berangkat dari fenomena maraknya media, terutama media online, yang belakangan disinggung kerap menyebarkan berita palsu atau hoax ke masyarakat. (CNNI).*