PPWI: Verifikasi Media Potensial Lahirkan Hoax Baru versi Pemerintah

Verifikasi Media Potensial Lahirkan Hoax Baru versi Pemerintah
LANGKAH Dewan Pers melakukan verifikasi dan pemasangan barcode terhadap media massa dinilai potensial melahirkan hoax baru versi pemerintah, selain menghambat kebebasan pers. Dewan Pers dinilai linglung dan sudah tergiring politik praktis dan kepentingan sektarian.

"Saat ini Dewan Pers kebingungan dan linglung menghadapi perkembangan dunia jurnalisme di tanah air," ujar Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Nasional, Wilson Lalengke, Minggu (5/2/2017). 

"Rakyat di seluruh tanah air, terutama kalangan jurnalis dan pewarta warga, tidak perlu resah, panik, dan reaktif. Tanggapi dengan biasa saja," imbuhnya.

Menurut Wilson, kebijakan Dewan Pers itu berpotensi kontraproduktif terhadap apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh Dewan Pers dan pemerintah Indonesia. 

Ia menegaskan, kebijakan barkode media itu bukanlah solusi yang benar dan efektif dalam menghadapi berita bohong (hoax).

Bahkan, menurut Wilson, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan hoax versi baru, yakni berita penuh rekayasa dari pihak pemerintah dan TNI/Polri dan instansi lainnya karena informasi dari mereka hanya bisa diakses oleh media yang sudah diatur oleh Dewan Pers.

"Ini akan membuka pintu bagi proses kongkalikong antara sumber berita dengan media yang terbarkode tersebut," tegasnya.

Wilson bahkan menilai Dewan Pers sudah semestinya dibubarkan dan diganti dengan sebuah lembaga yang lebih representatif untuk kondisi dunia jurnalisme dan media massa saat ini.

Perkembangan teknologi informasi dan publikasi yang telah maju dengan adanya ribuan media online, munculnya jutaan pewarta independen mengakibatkan eksistensi Dewan Pers sudah ketinggalan zaman.

"Pers berasal dari kata press yang artinya cetak. Jadi konotasinya, Dewan Pers adalah lembaga yang mengurusi media-media cetak. Wajarlah jika saat ini Dewan Pers linglung menghadapi media massa di tanah air yang didominasi oleh media non-cetak alias media online," ujarnya.

Ditegaskannya, masyarakat tidak membutuhkan barkode, tapi edukasi jurnalistik. Melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik, publik akan dimampukan untuk mencerna segala informasi yang diterimanya dengan baik dan benar. 

"Ketika warga sudah cerdas dalam mencerna informasi maka akan cerdas dalam merespon atau bereaksi terhadap informasi yang diterimanya," jelasnya.

Dalam kesempatan ini Wilson juga meminta instansi pemerintah dan TNI/Polri untuk menolak surat edaran dari Dewan Pers tentang daftar 74 media yang sudah terverifikasi.
PPWI juga menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk segera rapatkan barisan, dengan langkah-langkah:
1. Membentuk semacam forum revolusi jurnalisme Indonesia.
2. Membuat konsepsi Jurnalisme Nasional yang ideal untuk bangsa dan negara saat ini dan kemasa depan, termasuk RUU Jurnalistik Nasional dan lembaga pengganti dewan pers.
3.’Audiensi dengan DPR RI dan berbagai instansi terkait.
4.’Membentuk lembaga pengganti atau tandingan Dewan Pers, misalnya Badan Pewarta Nasional (Bapernas).
5. Melakukan sosialisasi dan kampanye tentang implementasi pasal 28 UUD 1945, perlunya amandemen UU No 40 tahun 1999, pembubaran Dewan Pers, dan pembentukan/legitimasi lembaga Badan Pewarta Nasional sebagai pengganti Dewan Pers.
Masyarakat dapat menghubungi PPWI melalui  Sekretariat PPWI Nasional melalui email: pengurus.ppwi@pewarta-indonesia.com, atau inbox Facebook @Sekretariat PPWI, atau SMS/WA 081371549165 (Shony), atau twitter @my_ppwi.

Sumber: Harian Terbit, Berita Lima.
Lebih baru Lebih lama