Google dan Facebook Panen Laba, Media Lokal Kolaps

Google dan Facebook Panen Laba, Media Lokal Kolaps
REVOLUSI Digital atau media internet hanya menguntungkan beberapa pihak, yakni raksasa media global seperti Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo. Di pihak lain, yakni media lokal di Indonesia, mengalami turbulensi. Delapan media cetak bahkan berhenti terbit.

Demikian dikemukakan mantan anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam sebuah diskusi  di Jakarta, Sabtu (17/12/2016).

"Raksasa global teknologi mengambil keuntungan besar dan menimbulkan efek terhadap media dan informasi secara umum,” katanya dikutip rmol.co.
Menurut Agus, mayoritas media global hanya sebagai news aggregator, yaitu menghimpun informasi dari berbagai pihak tanpa harus memproduksi. Sedangkan media-media lokal harus memproduksi berita dan informasi yang tentunya membutuhkan sumber daya yang besar.

Karenanya, Agus menegaskan, asosiasi-asosiasi media harus bersikap. Karena media-media lokal semakin tergerus keberadannya. “Media mainstream di Indonesia sedang dalam kondisi yang memprihatinkan,” tegasnya.

Agus juga menyebutkan salah satunya adalah ada delapan media cetak per 1 Desember 2016 yang tidak berproduksi lagi. “Delapan media cetak pamit kepada pembacanya,” kata dia.

Ia menegaskan, harus ada perlindungan pemerintah untuk media-media lokal Indonesia. Proteksi terhadap media dalam negeri melalui undang-undang teramat penting. Pasalnya, negara lain pun menyadari akan hal itu, seperti India, Korea, Argentina, Brasil, dan Uni Eropa. 
"Semangatnya bukan untuk menolak Google, Facebook, dan sebagainya. Melainkan ada langkah-langkah rill di level kebijakan untuk melindungi industri media konvensional," jelasnya.

Di India, lanjutnya, pemerintah bahkan memberikan subsidi kertas bagi media cetak dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit. Upaya pemerintah India tersebut sebagai suatu bentuk kesadaran pemerintah bahwa media konvensional tidak bisa digantikan fungsinya oleh media sosial.

"Sebagai sarana kontrol dan sebagainya, media konvensional termasuk radio belum bisa tergantikan. Oleh karenanya negara hadir," tegasnya.

Agus berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika, Komisi I DPR, Komisi Penyiaran Indonesia serta pemangku kepentingan media lainnya membuat sebuah undang-undang demi menjaga media mainstream nasional dari ekspansi Google dan media sosial lainnya.

"Kita tidak mungkin menolak Google dan sebagainya. Tapi kita harus mempunyai sikap untuk kemudian industri media hiburan nasional tetap bisa eksis," imbuhnya.*

Lebih baru Lebih lama